Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dengan Metode Perundingan Bipartit.

Oleh: Linda Tri Yulia
(1311900280) ; Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Kabar1news.com | Di jaman Era Industri 4.0 ini mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya diharuskan untuk lebih aktif dalam melakukan kegiatan di luar kampus untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih luas lagi dan dapat mempraktekkannya secara langsung.
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya memiliki program yang dinamakan dengan KKP (Kuliah Kerja Praktek) atau yang dikenal dengan sebutan Magang. Progam ini di harapkan mahasiswa mampu untuk mengaplikasikan ilmunya yang didapatkannya selama berada di bangku perkuliahan di tempat instalansi tempat dimana mahasiswa melakukan KKP (Kuliah Kerja Praktek) tersebut.
Dengan adanya KKP ini mahasiswa bisa untuk meningkatkan hard skill maupun softskill dan mutu pendidikan di bidang pekerjaan dengan para ahli dalam bidangnya.
Dalam sebuah perusahaan akan terikat dengan sebuah hubungan kerja yang dalam pelaksanaanya kerap sekali terjadi sebuah perselisihan yang terjadi di antara perusahaan dan juga pekerja. Adanya perbedaan kehendak ini sering kali menimbulkan perbedaan dalam pendapat, pandangan ataupun dalam penafsirannya dan juga masalah mengenai ketentuan dalam perundang-undangan atau kebijakan perusahaan yang pada akhirnya akan menimbulkan sebuah perselisihan diantara perusahaan dan juga pekerja.
Di dalam undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan industiral dijelaskan bahwa Perselisihan Hubungan Industrial ialah merupakan sebuah perbedaan dalam pendapat yang sering mengakibatkan adanya pertentangan di antara pengusaha ataupun gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh ini dikarenakan adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh di dalam suatu perusahaan. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 1 Angka 1 UU PPHI. Adapun mengenai penjelasannya mengenai jenis-jenis perselisihan tersebut telah disebutkan dalam Pasal 1 Angka 2, 3, 4, dan 5 adalah sebagai berikut :
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak;
Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban ke serikat pekerjaan;
Perundingan bipartite di dalam UU No. 2 Tahun 2004 ialah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Kedudukan hukum dalam penyelesaian melalui perundingan Bipartit merupakan penyelesaian yang bersifat wajib. Seperti yang telah diterangkan di dalam :
UU No. 13 Tahun 2003 “…. Maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan…”
UU No. 2 Tahun 2004 “Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaian terlebih dahulu melalui perundingan Bipartit.
Namun, perlu diketahui dan juga menjadi catatan bahwa dalam perundingan Bipartit berbeda dengan LKS Bipartit yang sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 106 UU No. 13 Tahun 2003. Dimana LKS Bipartit merupakan sebagai forum konsultasi dan komunikasi mengenai hal-hal ketenagakerjaan di dalam perusahaan itu sendiri.
Dalam penyelesaiannya perselisihan hubungan industrial yang telah terjadi harus diupayakan untuk penyelesaiannya melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Tahap pertama yang harus dilakukan yaitu dengan cara melakukan perundingan Bipartit yang dilakukan oleh para kedua belah pihak yaitu oleh pengusaha/pemberi kerja dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh secara musyawarah agar untuk mencapai mufakat dan juga harus diselesaikan paling lama 30 hari sejak tanggal dimulainya suatu perundingan. Apabila dalam jangka waktu selama 30 hari dan salah satu pihak menolak untuk berunding ataupun telah dilaksanakan sebuah perundingan tetapi tidak mencapai sebuah kesepakatan maka perundingan bipartit telah dianggap gagal. Pernyataan ini sesuai dengan Pasal 3 Ayat (1), (2), dan (3) UU PPHI.
Setelah perundingan Bipartit telah dinyatakan gagal, maka tahap kedua yang perlu dilaksanakan adalah dengan melakukan suatu perundingan Tripartit yaitu suatu perundingan dengan bantuan pihak ketiga untuk bisa menyelesaikan suatu masalah. Langkah yang harus diambil ialah dengan salah satu ataupun kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang telah bertanggung jawab pada bidang ketenagakerjaan setempat dengan juga harus melampirkan bukti-bukti bahwa upaya dalam penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan dan telah dinyatakan gagal. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 4 Ayat (1) UU PPHI.
Apabila bukti-bukti itu tidak dilampirkan, maka instansi yang telah bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan akan mengembalikan berkas untuk dilengkapi lagi dengan jangka waktu paling lambat dalam hitungan waktu 7 hari kerja sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas tersebut. Setelah menerima pencatatan dari salah satu ataupun para pihak dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat maka wajib menawarkan untuk para pihak menyepakati dan memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase. Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan agar suatu perkara dapat menyelesaikan perselisihan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, kepentingan, atau perselisihan pemutusan hubungan kerja. Sedangkan, penyelesaian melalui arbitrase dilakukan agar penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Jika para pihak tidak menetapkan untu memilih salah satu penyelesaian melalui konsiliasi ataupun arbitrase dalam kurun waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka dalam instansi tersebut yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan akan melimpahkan penyelesaian perselisihan tersebut kepada mediator, yaitu pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang telah memenuhi syarat-syarat untuk menjadi mediator yang telah ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan juga memiliki sebuah kewajiban untuk memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang sedang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Namun, apabila penyelesaian melalui konsiliasi ataupun mediasi tidak mencapai kata kesepakatan, maka salah satu pihak dapat untuk mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 UU PPHI. Kemudian, pada Pasal 55 UU PPHI disebutkan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum.
Untuk membantu penyelesaian masalah hubungan industiral melalui perundingan Bipartit, maka dibentuklah Lembaga Kerja Sama Bipartit. Pada Pasal 106 Ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit. Lembaga kerja sama bipartit ini berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.
Kemudian dalam Pasal 107 Ayat (1), (2), dan (3) dijelaskan bahwa lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten / Kota; dan Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh. (Linda Tri Yulia)