Menguasai Fisik Tanah Tidak Cukup Sebagai Dasar Kepemilikinan Tanah.
Jakarta,Kabar1news.com – Apakah dengan menguasai tanah secara fisik seseorang dapat mengklaim dirinya adalah pemilik tanah sah.
Gerai Hukum Art & Rekan berpendapat bahwa dengan menguasai tanah secara fisik belum tentu seseorang dapat mengklaim bahwa dirinya adalah pemilik yang sah atas tanah, sebagaimana hak dalam penguasaan itu diatur dalam hukum dan kewenangan menguasai secara fisik.
Contohnya:
1.Jika dalam hal sewa menyewa tanah, secara yuridis tanah adalah pemilik tanah tetapi secara fisik tanah tersebut digunakan oleh penyewa tanah dalam jangka waktu yang sudah ditentukan berdasarkan kesepakatan.
Dalam arti lain si penyewa menguasai tanah secara fisik dalam jangka waktu yang sudah ditentukan untuk dimanfaatkan sesuai yang telah disepakati dengan pemilik sah tanah tersebut.
2.Jika tanah dijaminkan pada Bank, maka Bank sebagai Kreditur sebagai pemegang hak jaminan atas tanah yang dijaminkan tetapi fisik penguasaan dan penggunaannya tetap ada pada pemilik hak atas tanah.
Pendaftaran hak atas tanah didasarkan kepada bukti formil dan bukti materil.
Surat digolongkan sebagai bukti formil. Namun bukti surat saja tidak sepenuhnya kuat membuktikan adanya hak atas tanah. Untuk sempurnanya suatu hak harus memenuhi bukti materil berupa penguasaan fisik tanah.
Perlu diperhatikan, pemegang surat hak tanpa menguasai fisik tanah selama bertahun-tahun, secara hukum haknya dapat gugur karena status tanah menjadi tanah terlantar.
Menurut Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, tanah terlantar sebagai salah satu sebab hapusnya hak atas tanah. Sedangkan seseorang yang menguasai fisik tanah selama bertahun-tahun dan secara terus-menerus dengan beritikad baik dapat menyampaikan permohonan untuk diberikan hak baru atas tanah tersebut.
Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menegaskan seseorang yang menguasai fisik tanah selama kurun waktu 20 (dua puluh) tahun secara terus-menerus dapat mendaftarkan diri sebagai pemegang hak atas tanah tersebut. Pasal tersebut berbunyi:
Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat:
1.Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.
2. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.
Maksud penguasaan fisik secara beritikad baik dan terbuka adalah penguasaan fisik yang tidak didasarkan kepada tipu daya dan kebohongan, dimana orang yang menguasai fisik tanah tersebut tidak pernah mendapat komplain atau gangguan atau gugatan dari pihak manapun selama kurun waktu tersebut di atas.
Jika ada, maka Pasal ini tidak dapat dijadikan dasar untuk diberikannya hak baru.
Kedudukan hukum penguasaan fisik tanah menjadi sangat penting agar pemegang hak terdorong untuk mengelola, mengurus dan memanfaatkan tanahnya.
Aturan tersebut secara implisit bertujuan agar tanah-tanah menjadi produktif dan memiliki nilai ekonomis bagi pemegang hak dan bermanfaat bagi masyarakat umum.
Pemegang hak yang selama bertahun-tahun meninggalkan atau tidak memanfaatkan tanah haknya maka secara hukum dianggap telah meninggalkan haknya.
Hal ini cukup jelas ditegaskan di dalam beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, diantaranya adalah:
1.Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 295 K/Sip/1973 Tanggal 9 Desember 1975 yang menguraikan; “mereka telah membiarkannya berlalu sampai tidak kurang dari 20 (dua puluh) tahun semasa hidupnya Daeng Patappu tersebut, suatu masa yang cukup lama sehingga mereka dapat dianggap telah meninggalkan haknya yang mungkin ada atas sawah sengketa, sedangkan Tergugat Pembanding dapat dianggap telah memperoleh hak milik atas sawah sengketa”.
2.Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 329 K/Sip/1957 Tanggal 24 September 1958 menegaskan; “orang yang membiarkan saja tanah menjadi haknya selama 18 (delapan belas) tahun dikuasai oleh orang lain dianggap telah melepaskan hak atas tanah tersebut (rechtsverwerking)”.
3.Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 783 K/Sip/1973 Tanggal 29 Januari 1976 menegaskan; “seandainya memang Penggugat Terbanding tidak berhak atas tanah tersebut, kenyataan bahwa Tergugat-tergugat sampai sekian lama (27 tahun) menunggu untuk menuntut pengembalian atas tanah tersebut menimbulkan anggapan hukum bahwa mereka telah melepaskan hak mereka (rechtsverwerking);” “pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung Penggugat Terbanding yang telah menduduki tanah tersebut untuk waktu yang lama, tanpa gangguan dan bertindak sebagai pemilik yang jujur (rechtshebende te goeder trouw) harus dilindungi oleh hukum”.
Kaidah hukum dari Yurisprudensi di atas menguatkan posisi hukum tindakan penguasaan fisik selama bertahun-tahun, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.Pemegang hak yang tidak menguasai fisik selama bertahun-tahun dianggap telah meninggalkan haknya.
2.Pemegang hak yang tidak menguasai fisik selama bertahun-tahun dianggap telah melepaskan hak atas tanah.
3.Penguasaan fisik tanah selama bertahun-tahun dianggap telah memperoleh hak milik.
4.Penguasaan fisik secara jujur harus dilindungi oleh hukum.
Masih banyak tanah-tanah yang dikuasai namun tidak ada surat yang mendasarinya. Aturan hukum tersebut dapat dijadikan dasar bagi Negara untuk memberikan hak-hak baru kepada pihak yang melakukan penguasaan fisik secara jujur.
Secara sosiologis bahwa orang yang menguasai tanah selama bertahun-tahun adalah orang yang benar-benar membutuhkan lahan untuk tempat tinggal.
Semakin hari kebutuhan tanah semakin terbatas sehingga hukum memandang pendudukan tanah secara beritikad baik harus dilindungi oleh hukum.
Dasar Hukum :
1.Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
2.Peraturan Pemerintah (PP) 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3.Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 295 K/Sip/1973 Tanggal 9 Desember 1975.
4.Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 329 K/Sip/1957 Tanggal 24 September 1958.
5.Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 783 K/Sip/1973 Tanggal 29 Januari 1976.(**)
Pembahasan oleh Arthur Noija, S.H Gerai Hukum Art dan Rekan Jakarta.