Kabar1News.com – Gerai Hukum Art & Rekan berpendapat bahwa Mengenai perjanjian kerjasama pada dasarnya harus sesuai dengan syarat sah perjanjian sebagaimana diatur pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yaitu:
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat :
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
Perjanjian juga harus didasari oleh itikad baik yang disebutkan oleh Pasal 1338 KUH Perdata, yakni:
a. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
b. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
c. Persetujuan harus dilaksanakan denganitikad baik.
Unsur-unsur di atas adalah yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian kerjasama dikatakan sah menurut hukum (memiliki legalitas).
Jika Ada Sebab Terlarang Dalam Perjanjian, Apakah Bisa Dipidana.
Pada Pasal 1254 KUH Perdata disebutkan :
• Menurut Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal.20) sebagaimana yang kami sarikan bahwa jika ada suatu hal yang terlarang dalam perjanjian maka syarat objektif perjanjian tidak terpenuhi sehingga perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Bagaimana kaitannya sebab terlarang dalam perjanjian dengan potensi adanya pidana. Mengenai sebab terlarang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yang berbunyi:
Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
Apa yang dilarang oleh undang-undang Mengenai suatu yang terlarang ini Subekti (hal.20) memberikan contoh: apabila soal membunuh dimasukkan dalam perjanjian, Contohnya:
• Si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh orang. Isi dari perjanjian ini menurutnya menjadi sesuatu yang terlarang.
Contoh lain adalah penipuan. Penipuan atau perbuatan curang (bedrog) dapat ditemukan dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), sebagai berikut:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
Pendapat Subekti dari buku yang sama (hal. 24), penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang menipu tersebut bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya, dipalsukan nomor mesinnya, dan sebagainya.
Jadi berdasarkan penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa jika ada suatu sebab yang terlarang dalam perjanjian yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan hal yang terlarang oleh undang-undang tersebut seperti pembunuhan atau penipuan.
Tindak Pidana dalam Perjanjian Membuat Perjanjian Batal Demi Hukum
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa perjanjian yang memiliki hal yang terlarang menyebabkan perjanjian tersebut batal demi hukum, berdasarkan Pasal 1254 KUH Perdata diatur sebagai berikut :
Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang adalah batal dan mengakibatkan persetujuan yang digantungkan padanya tak berlaku.
Terlebih secara spesifik apabila ada tindak pidana penipuan dalam suatu perjanjian maka perjanjian tersebut batal demi hukum jika dapat dibuktikan ada unsur pidana dalam perjanjian itu.
Hal ini berdasarkan Pasal 1328 KUH Perdata, yang berbunyi:
Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikirakira, melainkan harus dibuktikan.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Referensi:
• Subekti. 1990. Hukum Perjanjian. Jakarta:PT Intermasa.