Penyelesaian Perkara Pidana dengan Prinsip Keadilan Restoratif
1.Saya bekerja di suatu perusahaan swasta dan saya melakukan penggelapan berupa barang. Sekarang status saya berada dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
2.Saya ingin masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan, apakah bisa?
Gerai Hukum Art & Rekan berpendapat bahwa, penggelapan dalam Hubungan Kerja
Secara umum, tindak pidana penggelapan diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyatakan bahwa:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Namun, berkaitan dengan kasus, Pasal 374 KUHP menegaskan bahwa penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menerangkan bahwa pasal ini dinamakan penggelapan dengan pemberatan (hal. 259).
Pemberatan tersebut, karena (hal. 259):
1. Terdakwa diserahi barang yang digelapkan karena hubungan pekerjaan, seperti pemberi kerja dengan buruh;
2. Terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya, seperti pegawai binatu menggelapkan pakaian yang dicucinya;
3. Terdakwa mendapat upah uang, misalnya porter yang membawakan barang penumpang dan menggelapkan barang itu.
Jadi, jika dugaan penggelapan yang dilakukan berhubungan dengan pekerjaan sebagai pekerja/buruh perusahaan tersebut, berarti penggelapan tersebut adalah penggelapan dengan pemberatan sebagaimana yang kami terangkan di atas.
Keadilan Restoratif
Adakah Delik Aduan yang Tetap Diproses Meski Pengaduannya Telah Dicabut?, ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara, yaitu :
1. delik aduan.
2. delik biasa.
Delik aduan adalah delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana.
Sedangkan dalam delik biasa, perkara dapat diproses tanpa adanya persetujuan/laporan dari yang dirugikan (korban).
Perbedaan Pengaduan dengan Pelaporan, penggelapan adalah delik biasa, sehingga walaupun korban telah mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, tetap dapat dituntut dengan pidana penggelapan.
Namun, patut diperhatikan bahwa penyelesaian perkara pidana tetap dapat dilakukan secara kekeluargaan atau berdasarkan keadilan restoratif yang didasarkan pada ketentuan:
1. Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (“Perkejaksaan 15/2020”);
2. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 6/2019”);
3. Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana (“SE Kapolri 8/2018”).
Keadilan restoratif yang dimaksud pada ketentuan-ketentuan di atas adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Prinsip keadilan restoratif (restorative justice) tidak bisa dimaknai sebagai metode penghentian perkara secara damai, tetapi lebih luas pada pemenuhan rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui upaya yang melibatkan korban, pelaku dan masyarakat setempat serta penyelidik/penyidik sebagai mediator, sedangkan penyelesaian perkara salah satunya dalam bentuk perjanjian perdamaian dan pencabutan hak menuntut dari korban perlu dimintakan penetapan hakim melalui jaksa penuntut umum untuk menggugurkan kewenangan menuntut dari korban, dan penuntut umum.
Penyelesaian di Tingkat Penyidikan
Kami asumsikan proses hukum perkara pidana yang melibatkan suadara belum mencapai tahap pemeriksaan persidangan dan baru pada tingkat penyelidikan atau penyidikan oleh pihak Kepolisian.
Dalam kasus yang demikian, dapat dilakukan penyelesaian berdasarkan keadilan restoratif, apabila terpenuhi syarat materiil dan formil.
Syarat materiil tersebut, meliputi:
1. tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat;
2. tidak berdampak konflik sosial;
3. adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum;
4. prinsip pembatas:
a. pada pelaku :
1. tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan terutama kesengajaan sebagai maksud atau tujuan; dan
2. pelaku bukan residivis;
b. pada tindak pidana dalam proses:
1. penyelidikan; dan
2. penyidikan, sebelum Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dikirim ke Penuntut Umum;
Syarat formil, meliputi:
1. surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor);
2. surat pernyataan perdamaian (akte dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan Penyidik;
3. berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif;
4. rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif;
5. pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi; dan
6. semua tindak pidana dapat dilakukan restorative justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia.
Jika perkara pidana yang melibatkan saudara, memenuhi syarat-syarat di atas, maka perkara pidana tersebut dapat diselesaikan berdasarkan mekanisme penerapan keadilan restoratif.
Mekanisme Penerapan Keadilan Restoratif
Pedoman mekanisme penerapan keadilan restoratif (restorative justice) adalah sebagai berikut:
1. setelah menerima permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor) yang ditandatangani di atas meterai, dilakukan penelitian administrasi syarat formil penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif (restorative justice);
2. permohonan perdamaian setelah persyaratan formil terpenuhi diajukan kepada atasan penyidik untuk mendapatkan persetujuan;
3. setelah permohonan disetujui oleh atasan penyidik (Kabareskrim/Kapolda/Kapolres), kemudian ditetapkan waktu pelaksanaan penandatanganan pernyataan perdamaian;
4. pelaksanaan konferensi yang menghasilkan perjanjian kesepakatan yang ditandatangani semua pihak yang terlibat;
5. membuat nota dinas kepada pengawas penyidik atau Kasatker perihal permohonan dilaksanakan gelar perkara khusus untuk tujuan penghentian perkara;
6. melaksanakan gelar perkara khusus dengan peserta pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat yang ditunjuk oleh penyidik, penyidik yang menangani dan perwakilan dari fungsi pengawas internal dan fungsi hukum dan unsur pemerintahan bila diperlukan;
7. menyusun kelengkapan administrasi dan dokumen gelar perkara khusus serta laporan hasil gelar perkara;
8. menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan/Penyidikan dan Surat Ketetapan Penghentian Penyelidikan/Penyidikan dengan alasan restorative justice;
9. untuk perkara pada tahap penyelidikan, penyelidik menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan dan Surat Ketetapan Penghentian Penyelidikan yang ditandatangani oleh:
a. Direktur Reserse Kriminal pada tingkat Mabes Polri;
b. Direktur Reserse Kriminal pada tingkat Polda;
c. Kapolres, pada tingkat Polres dan Polsek;
10. untuk perkara pada tahap penyidikan, penyidik menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan, yang ditandatangani oleh:
a. Direktur Reserse Kriminal pada tingkat Mabes Polri;
b. Direktur Reserse Kriminal, pada tingkat Polda;
c. Kapolres, pada tingkat Polres dan Polsek;
11. mencatat ke dalam buku register baru B-19 sebagai perkara keadilan restoratif (restorative justice) dihitung sebagai penyelesaian perkara.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif;
3. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana;
4. Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana.
Referensi:
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor, 1991.