Jakarta,Kabar1News.com – Gerai Hukum Art & Rekan berpendapat bahwa, Pembatalan Sertifikat Hak atas Tanah. Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (“Permen Agraria/BPN 9/1999”) mendefinisikan pembatalan hak atas tanah sebagai pembatalan keputusan pemberian suatu hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administratif dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah inkracht.
Karena alasan administratif, pembatalan sertifikat hak atas tanah juga dapat terjadi dalam hal ada pihak lain yang dapat membuktikan bahwa suatu bidang tanah yang sudah diterbitkan sertifikat itu adalah secara sah dan nyata miliknya dan hal tersebut didukung dengan adanya putusan pengadilan yang telah inkracht.
Permohonan Pembatalan Sertifikat Hak atas Tanah Pembatalan sertifikat dapat dilakukan di luar mekanisme peradilan, yaitu dengan cara mengajukan permohonan yang diajukan secara tertulis kepada Menteri atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
Mekanisme tersebut diatur pada Pasal 110 jo.
Pasal 108 ayat (1) Permen Agraria/BPN 9/1999.
Permohonan dapat dilakukan jika diduga terdapat cacat hukum administratif dalam penerbitan sertifikat itu sebagaimana diatur pada Pasal 106 ayat (1) jo. Pasal 107 Permen Agraria/BPN 9/1999 sebagai berikut:
Pasal 106 ayat (1) Permen Agraria/BPN 9/1999
Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacad hukum administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh Pejabat yang berwenang tanpa permohonan.
Pasal 107 Permen Agraria/BPN 9/1999
Cacat hukum administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 (1) adalah:
1.Kesalahan prosedur.
2.Kesalahan penerapan 3.Peraturan perundang-undangan.
4.Kesalahan subjek hak.
5.Kesalahan objek hak.
6.Kesalahan jenis hak.
7.Kesalahan perhitungan luas.
8.Terdapat tumpang tindih hak atas tanah.
9.Data yuridis atau data data fisik tidak benar. atau Kesalahan lainnya yang bersifat administratif.
Pembatalan Berdasarkan Putusan Pengadilan
Pembatalan hak atas tanah juga dapat terjadi karena melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Surat keputusan pembatalan hak atas tanah menurut Pasal 104 ayat (2) Permen Agraria/BPN 9/1999, diterbitkan apabila terdapat:
cacat hukum administratif; dan/atau
melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Permen Agraria/BPN 9/1999, yang menjadi objek pembatalan hak atas tanah meliputi:
surat keputusan pemberian hak atas tanah.
sertifikat hak atas tanah.
surat keputusan pemberian hak atas tanah dalam rangka pengaturan penguasaan tanah.
Dari rumusan di atas, Hasan Basri Nata Menggala & Sarjita dalam buku Pembatalan dan Kebatalan Hak atas Tanah menyimpulkan bahwa (hal. 27):
pembatalan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang bermaksud untuk memutuskan, menghentikan atau menghapus suatu hubungan hukum antara subjek hak atas tanah dengan objek hak atas tanah.
jenis/macam kegiatannya, meliputi pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah dan/atau sertifikat hak atas tanah.
penyebab pembatalan adalah karena cacat hukum administratif dan/atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, karena pemegang hak tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam surat keputusan pemberian hak atas tanah serta karena adanya kekeliruan dalam surat keputusan pemberian hak bersangkutan.
Berdasarkan uraian di atas, ada 3 cara untuk melakukan pembatalan sertifikat hak atas tanah:
Meminta Pembatalan Kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Kantor Pertanahan
Alasan pembatalan sertifikat hak atas tanah adalah karena adanya cacat hukum administratif, seperti kesalahan perhitungan dan luas tanah, sehingga menyerobot tanah lainnya, tumpang tindih hak atas tanah, kesalahan prosedural, atau perbuatan lain, seperti pemalsuan surat.
Hal ini dimohonkan secara tertulis kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
Lampirkan pula berkas-berkas, berupa:
fotokopi surat bukti identitas dan surat bukti kewarganegaraan (bagi perorangan) atau fotokopi akta pendirian (bagi badan hukum);
fotokopi surat keputusan dan/atau sertifikat;
berkas-berkas lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan tersebut.
Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU 30/2014”) Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”) adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Menurut hemat kami, sertifikat hak atas tanah merupakan salah satu bentuk KTUN.
Yang perlu diperhatikan adalah batas waktu untuk menggugat ke PTUN, yaitu 90 hari sejak diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara sebagaimana diatur Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Gugatan Ke Pengadilan Negeri
Setiap orang yang ingin mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang diatur Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan dasar dan dalil-dalil yang penggugat pikirkan dan penggugat nilai merugikan, seperti contohnya, menjual sebidang tanah kepada pembeli dan pembeli tersebut belum membayarkan sepenuhnya kepada pemilik, namun sudah mengajukan proses balik nama sertifikat tanah.
Namun perlu di ingat bahwa ada masa daluwarsanya, karena permohonan pembatalan atau gugatan ke pengadilan hanya dapat diajukan maksimal 5 tahun sejak terbitnya sertifikat, sebagaimana diatur Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi:
Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
Namun daluwarsa tidak mutlak selama bisa dibuktikan bahwa perolehan tanah tersebut dilakukan tidak dengan iktikad baik.
Dasar Hukum :
1.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang–Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah kedua kali dengan Undang–Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
3.Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
4.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
5.Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Referensi:
Hasan Basri Nata Menggala & Sarjita. Pembatalan dan Kebatalan Hak atas Tanah. Yogyakarta: Tugujogja Pustaka, 2004.