Ketum DPP KNPI Desak Menkeu Batalkan Kenaikan Pajak dan Rencana Tax Amnesty.
Jakarta, Kabar1news.com – Program Pengampunan Pajak atau Tax Amnesti rencananya akan kembali dilaksanakan pada 2025, dengan demikian untuk ketiga kalinya pemerintah Indonesia akan melaksanakan program pengampunan pajak bagi para pengemplang berdekatan dengan keputusan pemerintah lainnya untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi sebesar 12 persen di tahun depan.
Rencana kebijakan ini menuai kritik dan kecaman berbagai pihak, salah satunya dari Ketua Umum (Ketum) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Tantan Taufiq Lubis. Menurutnya, Menkeu Sri Mulyani tengah mempertontonkan akrobat ketidakadilan dalam kebijakan-kebijakannya. Meski Tax Amnesty dan Kenaikan PPN ini dua hal yang berbeda, tapi keduanya sama-sama terkait pajak yang melibatkan golongan masyarakat dengan strata pendapatan yang berbeda. Disini menjadi nampak perbedaan perlakuan terhadap para wajib pajak, rakyat kecil ditekan kenaikan pajak, sementara disisi lain ada kelompok masyarakat kaya yang mendapat priviledge pengampunan pajak.
Sebelumnya, Ketua Komisi XI, Misbakhun mengatakan, Komisi XI mengambil inisiatif menjadi pengusul Revisi Undang Undang No.11 Tahun 2016 tentang Tax Amnesty pasca mendengar informasi dari Baleg DPR pada pertemuan dengan OJK yang menegaskan ada usulan mengenai Prolegnas Prioritas di 2025. Menurut dia, Komisi XI dirasa lebih tepat menjadi pengusul karena memiliki pengalaman membahas mengenai pengampunan pajak dalam tax amnesty yang telah dilakukan pemerintah sebelumnya.
“Seperti kita ketahui, Masyarakat kelas menengah ke bawah kini sebetulnya tengah dalam masalah tekanan daya beli, akibat pendapatannya yang tak mampu mengimbangi kenaikan inflasi. Tercermin dari laju konsumsi rumah tangga yang bahkan sudah tiga kuartal tak lagi mampu tumbuh di atas 5 persen membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia lajunya makin pelan,” tegas Tantan Taufiq Lubis yang juga Executive Board Ikatan Mahasiswa Doktoral Indonesia, dalam rilis resminya (21/11/2024).
Sementara itu, PPN dikenakan terhadap seluruh transaksi barang dan jasa yang dilakukan masyarakat, baik itu kelas menengah ataupun masyarakat miskin. Maka, tak heran kini mulai marak di media sosial masyarakat yang menyatakan rakyat kecil dihantam PPN, orang kaya dapat pengampunan pajak.
Masalah ini menjadi semakin pelik jika isu ‘ketidakadilan’ tersebut dieskalasi dalam skala yang lebih besar. Bisa melahirkan gerakan pembangkangan sipil ( Civil Dis-obidience ) atas kebijakan Pemerintah yang di rasakan memberatkan dan tidak adil.
“Dalam catatan kami, Tingkat konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2024, yang menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 53,08%, hanya mampu tumbuh 4,91%, lebih rendah dari laju pertumbuhan kuartal II-2024 sebesar 4,93%. Kuartal I-2024 pun hanya tumbuh 4,91%,” imbuh Tantan.
Kondisi ini membuat pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2024 hanya mampu tumbuh 4,95%, lebih rendah dari pertumbuhan kuartal II-2024 yang sebesar 5,11% maupun kuartal I-2024 yang tumbuh 5,05%, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS).
Dengan naiknya PPN pada 2025 sebesar 12% sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), akan semakin memberatkan daya beli masyarakat ke depan, dan berpotensi semain melemahkan laju konsumsi rumah tangga.
“Kita semua berkewajiban mengawal lajunya pemerintahan, terutama sekali menjaga presiden prabowo dari anasir dan bisikan yang keliru dari jajaran menteri ekonominya yang kurang memiliki kreatifitas dan tidak cakap dalam melahirkan kebijakan yang bisa menambah pendapatan negara. Target pertumbuhan ekonomi 8 persen tentunya hanya akan menjadi mimpi semata jika para punggawa presiden prabowo hanya melakukan tindakan normatif, apa adanya dan konsisten dengan kebijakan lama yang tak kreatif dan berkeadilan. Jadi ya, Menteri Keuangan Sri Mulyani jangan hanya bisa naikkin pajak rakyat kecil, coba optimalkan pendapatan dari pajak tambang dan pajak aktivitas Bisnis di sektor pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA),” tegas Wakil Rektor Universitas Jakarta Tantan Taufiq Lubis. (**)