Jakarta, Kabar1News.com – Gerai Hukum Art & Rekan berpendapat bahwa, seberapa besar peran dan tugas Negara adalah menjamin ketertiban serta mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warganya. Jika pertanyaan ini di lontarkan kepada pemerintah kita, maka jawabannya sederhana.
Dalam konteks ini cukup jelas dicantumkan dalam pembukaan UUD 45 yang antara lain mengamanatkan bahwa Negara RI bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta menjaga ketertiban dunia.
Negara pada dasarnya berkewajiban memenuhi hak-hak dasar warganya, seperti; tempat tinggal, pekerjaan yang layak, sandang, pangan dan papan serta lingkungan yang memadai sehingga Negara dituntut dapat memanfaatkan setiap jengkal tanahnya secara optimal.
Mendesaknya penerapan manajemen pertanahan di antaranya dipicu dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia, sehingga tanah yang sifatnya statis harus mampu menyediakan kebutuhan dasar para penghuninya.
5 Oktober 2020 dalam sidang paripurna DPR dan Pemerintah menyetujui pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah disahkan oleh pemerintah yang di dalamnya, ada program yang akan mempengaruhi sektor pertanahan, yakni pembentukan bank tanah. Meski berbagai lapisan masyarakat terus menyuarakan ketidaksetujuannya karena prosedur dan substansinya yang bermasalah.
Sejak diserahkan oleh Pemerintah pada 12 Februari 2020, pembahasan RUU Cipta Kerja tetap dijalankan walaupun Indonesia tengah menghadapi pandemi Covid-19. Dan pengesahan RUU ini, ternyata turut mempengaruhi Undang-Undang Agraria, ada kesan RUU Cipta Kerja terlalu “Dipaksakan”, adalah kata yang menggambarkan bagaimana cara DPR dan Pemerintah dalam menyusun undang-undang ini.
Sebelum menjadi Undang-Undang, Komnas Ham RI menilai lahirnya UU Cipta Kerja menilai penyusunan beleid omnibus law itu terkesan tergesa-gesa dan minim ruang partisipasi masyarakat. Kesimpulannya, Komnas HAM menegaskan bahwa :
A. Prosedur perencanaan dan pembentukan RUU Cipta Kerja tidak sejalan dengan tata cara atau mekanisme yang telah diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Aturan ini masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
B. Terdapat penyimpangan asas hukum lex superior derogat legi inferior. Yang mana didalam Pasal 170 Ayat (1) dan (2) RUU Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah dapat mengubah peraturan setingkat undang-undang jika muatan materinya tidak selaras dengan kepentingan strategis RUU Cipta Kerja.
C. RUU Cipta Kerja akan membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif. Sehingga berpotensi memicu terjadinya penyalahgunaan wewenang atau abuse of power. Hal itu tidak sesuai dengan prinsip peraturan perundang-undangan yang sederhana, efektif, dan akuntabel.
D. Tidak ada jenis undang-undang yang lebih tinggi atau superior atas undang-undang lainnya. Sehingga, apabila RUU Cipta Kerja disahkan, seakan-akan ada undang-undang superior. Hal ini akan menimbulkan kekacauan tatanan hukum dan ketidakpastian hukum.
E. Pemunduran atas kewajiban negara memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sehingga melanggar kewajiban realisasi progresif atas pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi.
F. Pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang tercermin dari pembatasan hak untuk berpartisipasi dan hak atas informasi. Hal ini diantaranya terkait dengan ketentuan yang mengubah Izin Lingkungan menjadi Persetujuan Lingkungan, berkurangnya kewajiban melakukan Amdal bagi kegiatan usaha, hingga berpotensi terjadinya alih tanggung jawab kepada individu.
G. Relaksasi atas tata ruang dan wilayah demi kepentingan strategis nasional yang dilakukan tanpa memerlukan persetujuan atau rekomendasi dari institusi atau lembaga yang mengawasi kebijakan tata ruang dan wilayah, sehingga membahayakan keserasian dan daya dukung lingkungan hidup.
H. Pemunduran atas upaya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kepemilikan tanah melalui perubahan UU Nomor 2 Tahun 2012 terkait dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
I. Pemunduran atas upaya pemenuhan hak atas pangan dan ketimpangan akses dan kepemilikan sumber daya alam terutama tanah antara masyarakat dengan perusahaan (korporasi). Hal ini di antaranya terkait dengan penghapusan kewajiban pembangunan kebun plasma untuk masyarakat minimal 20 persen dari luasan izin HGU, pembentukan Bank Tanah yang akan menjadikan lahan sekadar kepentingan komoditas ekonomi dengan luasan pengelolaan tanah yang tidak dibatasi dan jangka waktu hak yang diberikan selama 90 tahun.
J. Politik penghukuman dalam RUU Cipta Kerja bernuansa diskriminatif, karena lebih menjamin kepentingan sekelompok orang atau kelompok pelaku usaha atau korporasi. Sehingga mencederai hak atas persamaan di depan hukum.
Bank Tanah
Terkait sektor pertanahan dan perlu diketahu bahwa Pemerintah telah membentuk badan “Bank Tanah” yang akan melakukan Reforma Agraria dan redistribusi tanah kepada masyarakat. Sebagaimana dikatakan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bahwa Kementerian ATR/BPN RI berperan mengumpulkan tanah kemudian dibagikan kembali atau restribusi kepada masyarakat dengan pengaturan ketat. Tapi benarkah demikian adanya. Konsep “Bank Tanah” di Indonesia, maka ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu apa itu “Bank Tanah”.
Bank tanah atau land banking merupakan praktik membeli atau mengambil alih tanah yang nantinya dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan.
Bank tanah juga kerap digunakan untuk membantu pemerintah melestarikan ruang terbuka serta menstabilkan nilai tanah di suatu negara.
Bank tanah merupakan istilah standar yang berlaku di dunia internasional. “Bank tanah ini juga memungkinkan negara, memberikan tanah untuk rumah rakyat di perkotaan dengan harga yang sangat murah bahkan gratis,” terang Menteri Sofyan Djalil dalam satu kesempatan konferensi pers bersama UU Cipta Kerja,
Melansir dari website resmi Kemenkeu, bank tanah memiliki beberapa fungsi yakni :
1. Penghimpun tanah atau pencadangan tanah (land keeper) sebagai media pengembangan data, administrasi, dan menyediakan informasi mengenai lahan atau pertanahan.
2. Pengamanan tanah untuk berbagai kebutuhan pembangunan di masa akan datang (land warrantee)atau mengamankan tanah agar nantinya bisa digunakan secara optimal.
3. Pengendali tanah (land purchaser) sebagai penguasa tanah yang menetapkan harga tanah sesuai dengan nilai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
4. Pendistribusian tanah untuk berbagai keperluan pembangunan (land distributor) dan menjamin distribusi tanah berlangsung adil dan sesuai dengan kesatuan nilai tanah, mengamankan perencanaan, penyediaan, dan distribusi tanah.
Konsep Bank Tanah
Bahwa secara substansi bank tanah melakukan pencadangan tanah bagi pemerintah untuk kemudian digunakan bagi kepentingan umum seperti yang telah diterapkan di beberapa negara maju seperti Belanda, Swiss, Swedia dan Amerika Serikat.
Konsep Bank Tanah sudah dicetuskan di negara Barat sejak tahun 1700 an yang kemudian diadopsi oleh banyak negara termasuk negara asia.
Ada beberapa pendapat dari pakar hukum pertanahan menyebutkan terkait ‘Bank Tanah’.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono,SH. MH, mengatakan bahwa Bank Tanah merupakan setiap kegiatan pemerintah untuk menyediakan tanah yang akan dialokasikan penggunaannya di kemudian hari.
Evans (2004) mengatakan bahwa land banking as acquisition of land ahead of development either by construction companies or by central or local government or their agencies. Menurut Evans bank tanah diartikan sebagai pengadaan tanah sebelum pembangunan, baik oleh perusahaan konstruksi atau oleh pemerintah pusat atau daerah atau instansi mereka.
Alexander (2011) menjelaskan bahwa bank tanah adalah proses atau kebijakan di mana pemerintah daerah memperoleh kelebihan properti dan mengubahnya menjadi penggunaan produktif atau menahannya untuk tujuan publik strategis jangka panjang.
Wilson, J. menyebutkan adalah lembaga keuangan pemerintah yang diberi mandat untuk memacu pembangunan pedesaan, dengan misinya memajukan pertumbuhan dan kesejahteraan khususnya di pedesaan.
Didalam penjelasan ini bisa disimpulkan bahwa mekanisme bank tanah diperuntukan untuk penyedian tanah guna keperluan publik dan kesejahteraan masyarakat sehingga diperlukan campur tangan pemerintah.
Ada dua bentuk konsep bank tanah
1. Bank Tanah Umum (General Land Banking) dengan misi utama untuk menyediakan tanah bagi kebutuhan sosial dalam skala besar dan tidak mengejar keuntungan serta menjaga stabilitas harga tanah.
2. Bank Tanah Khusus (Special Land Banking) yang bertugas menyediakan tanah dalam skala kecil untuk tujuan komersial.
Fungsinya bank tanah memiliki beberapa fungsi, menurut Siregar (2004) dalam Annaningsih (2007) fungsi bank tanah adalah sebagai berikut :
1. Land Keeper, sebagai penghimpun tanah yaitu inventarisasi dan pengembangan database tanah, administrasi dan penyediaan sistem informasi pertanahan.
2. Land Warantee, sebagai pengamanan tanah yaitu menjamin penyediaan tanah untuk pembangunan, menjamin nilai tanah dan efisiensi pasar tanah yang berkeadilan, dan mengamankan peruntukkan tanah secara optimal.
3. Land Purchaser, sebagai pengendali tanah yaitu penguasaan tanah, penetapan harga tanah yang terkait dengan persepsi kesamaan nilai pajak bumi dan bangunan.
4. Land Valuer, sebagai penilai tanah yaitu melakukan penilaian tanah yang obyektif dalam menciptakan satu sistem nilai dalam penentuan nilai tanah yang berlaku untuk berbagai keperluan.
5. Land Distributor, sebagai penyalur tanah yaitu menjamin distribusi tanah yang wajar dan adil berdasarkan kesatuan nilai tanah, mengamankan perencanaan, penyediaan dan distribusi tanah.
6. Land Management, sebagai manajer tanah yaitu melakukan manajemen pertanahan yang merupakan bagian dan manajemen aset secara keseluruhan, melakukan analisis, penetapan strategi dan pengelolaan implementasi berkaitan dengan pertanahan.
Bank tanah sudah lama diterapkan di berbagai negara dengan berbagai misi khusus yang disesuaikan dengan kondisi yang saat itu terjadi serta melihat pada tujuan kedepan yang ingin dicapai.
Belanda adalah :
Salah satu pencetus bank tanah, membedakan konsep bank tanah sebagai sarana manajemen pertahanan dalam tiga kategori yakni:
A. Exchange Land Banking: dalam kategori bank tanah sebagai exchange land banking, maka bank tanah akan membeli tanah yang selanjutnya tanah tersebut akan dipertahankan untuk sementara waktu sebelum tanah tersebut dilepaskan/dipertukarkan dengan pihak ketiga.
B. Financial Instrument: kegiatan bank tanah sebagai financial instrument dilakukan dengan cara pemerintah membeli tanah untuk kemudian disewakan kepada para petani dengan periode yang lama (umumnya 26 tahun).
C. Land Bank as Developer: land bank as developer pada umumnya dilakukan oleh sektor swasta dengan cara melakukan pembelian tanah dalam jumlah besar dengan harapan di masa depan akan perubahan fungsi atas lokasi tanah tersebut (spekulasi) seperti berubah menjadi daerah pemukiman, rekreasi, kegiatan ekonomi sehingga akan meningkatkan nilai tanahnya.
Sedangkan di Amerika Serikat, bank tanah dibangun untuk menangani fenomena masalah properti kosong yang terbengkalai dan mempercepat pembangunan kembali lingkungan tersebut serta berupaya untuk menyediakan perumahan yang terjangkau bagi masyarakat. Hal ini dilakukan untuk mengamankan properti dari spekulan tanah yang bermodal kuat. Dan seiring perkembangan waktu, bank tanah di Amerika Serikat juga mengakomodir pencadangan dan penyediaan tanah untuk kegiatan industri.
Mekanisme Bank Tanah
Menurut Dr. Ir. Soedjarwo Soeromihardjo sebagaimana dikutip dalam Jurnal Cut Lina Mutia-Bank Tanah : Antara Cita-cita dan Utopia (2004), dijelaskan beberapa mekanisme bank tanah di beberapa negara :
1. Negara Jepang menentukan suatu kebijakan bahwa orang yang membeli tanah dan kemudian menjual kembali tanah itu dalam waktu kurang dari 10 tahun sejak tanah dibeli, maka dikategorikan sebagai kegiatan spekulasi tanah sehingga dikenakan pajak yang sangat tinggi.
2. Guatemala menerapkan cara dengan memberikan keringanan pajak kepada setiap pemilik tanah yang menjual tanahnya kepada negara, sedangkan bila tidak menjual kepada negara maka akan dikenakan pajak yang tinggi.
3. Belanda menjalankan peraturan bahwa masyarakat pemilik tanah yang tidak memanfaatkannya dalam kurun waktu tertentu, tanahnya diambil oleh negara dengan memberikan ganti rugi.
Dengan ketentuan dan peraturan di beberapa negara tersebut, terbukti Swiss dan Belanda sebagai negara yang wilayahnya kecil berhasil membangun bank tanah untuk pembangunan bagi rakyat. Memperhatikan kondisi Indonesia saat ini, pemerintah perlu fokus pada kebijakan penyediaan lahan untuk infrastruktur dan perumahan rakyat.
Sejalan dengan program pemerintah mengenai pembangunan infrastruktur dan penyediaan perumahan terjangkau bagi masyarakat ekonomi menengah kebawah.
Sebab itu sangat dibutuhkan dibangun sebuah metode dalam pengelolaan tanah yang disesuaikan dengan rencana jangka panjang pemerintah sehingga dapat ditetapkan zonasi pemanfaatan lahan demi pemerataan pembangunan.