Jakarta,Kabar1News.com – Gerai Hukum Art & Rekan berpendapat bahwa, Penggelapan kita perlu ketahui perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan.
Perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan haruslah memenuhi unsur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) sebagai berikut :
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Ancaman pidana berupa denda sebesar sembilan ratus rupiah yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP tersebut telah disesuaikan berdasarkan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP :
Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipat gandakan menjadi 1.000 (seribu) kali.
Penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Contohnya, penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut.
Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya petugas penitipan barang.
Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam penguasannya yang mana barang/uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain.
Perbuatan penggelapan ini dicontohkan oleh R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258), misalnya A meminjam sepeda B, kemudian dengan tidak seizin B dijualnya atau A (bendaharawan) menyimpan uang negara lalu uang itu dipakai untuk keperluan sendiri.
Lebih lanjut R.Soesilo (hal.258) menambahkan, kadang-kadang sulit sekali untuk membedakan antara pencurian dengan penggelapan, misalnya A menemui uang di jalanan lalu diambilnya.
Jika pada waktu mengambil itu sudah ada niat untuk memiliki uang tersebut, maka peristiwa ini adalah pencurian. Apabila pada waktu megambil itu pikiran A adalah:
“Uang itu akan saya serahkan ke kantor polisi” dan betul diserakannya, maka A tidak berbuat suatu peristiwa pidana, akan tetapi jika sebelum sampai di kantor polisi kemudian timbul maksud untuk memiliki uang itu dan dibelanjakan, maka A telah melakukan penggelapan.
Penggelapan yang Dilakukan Oleh Keluarga
Lantas bagaimana jika pelakunya adalah saudara sendiri atau kakak dari ibu kita, Perlu dilihat bahwa berdasarkan Pasal 376 KUHP, ketentuan dalam Pasal 367 KUHP berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang dirumuskan dalam bab penggelapan.
Untuk itu perlu dijabarkan rumusan dalam Pasal 367 ayat (2) KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
Jika dia (pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini) adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
R. Soesilo dalam buku yang sama (hal. 256) juga mengatakan bahwa jika yang melakukan atau membantu penggelapan itu adalah sanak keluarga yang tersebut pada alinea dua dalam pasal ini, maka si pembuat hanya dapat dituntut atas pengaduan dari orang yang memiliki barang itu (delik aduan).
Menurut Drs. P.A.F. Lamintang, dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 217-218):
Delik aduan merupakan tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Sedangkan delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan.
Contoh kasus dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Pemantang Siantar No. 287/Pid/B/2013/PN.Pms, terdakwa merupakan anak dari korban bersama istri keduanya, permasalahan muncul ketika korban ayah terdakwa, menyetujui saran dari terdakwa agar memindahkan uangnya dari satu bank ke bank lain, dengan maksud akan mendapat kemudahan dan demi lancarnya usaha.
Setelah korban memberikan uang sejumlah Rp 1 miliar kepada terdakwa untuk dimasukkan ke rekening korban di bank tujuan, akan tetapi terdakwa tidak memasukkan uang tersebut ke rekening korban sebagaimana rencana awal, melainkan dimasukkan ke rekening terdakwa sendiri.
Setelah ditagih beberapa kali, terdakwa menyatakan nanti dulu, belum jatuh tempo yang pada akhirnya terdakwa menyatakan bahwa uang saksi korban ayahnya, tidak ada dengan terdakwa.
Atas perbuatan tersebut, terdakwa dinyatakan oleh majelis hakim telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “penggelapan yang dilakukan dalam kalangan keluarga” sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 372 jo. 376 KUHP dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan.
Dasar Hukum :
1.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2.Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP.
Referensi:
1.Drs. P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
2.R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.(Arthur)