Jakarta,Kabar1News.com – Ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, maka setidaknya penyidik telah memiliki 2 (dua) alat bukti yang syah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 184 KUHAP ada 5 jenis alat bukti yang syah yaitu (1) keterangan saksi (2) keterangan ahli (3) surat/dokumen (4) petunjuk (5) keterangan terdakwa. Jika tindak pidana yang dipersangkakan terkait dengan tindak pidana ITE, maka ada satu jenis lagi alat bukti yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 juncto UU No. 19 Tahun 2016, yang menyatakan : “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Alasan Terbitnya SP3
Diterbitkannya penetapan tersangka oleh penyidik telah melalui proses penyidikan, meskipun dalam kasus tertentu yaitu tertangkap tangan maka penetapan tersangka tidak dilakukan melalui proses penyidikan. Jika mengacu pada Pasal 1 angka 2 KUHAP maka penyidikan merupakan rangkaian tindakan penyidik untuk mengumpulkan alat bukti sehingga membuat terang sebuah tindak pidana serta menemukan tersangkanya. Jadi penetapan tersangka pasti dilakukan setelah penyidik menemukan alat bukti.
Setelah seseoran ditetapkan sebagai tersangka, ternyata ada hak penyidik untuk menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). SP3 ini terbit ketika sudah adanya penetapan seseorang sebagai tersangka. Jika mengacu pada KUHAP, maka tentang SP3 ini hanya diatur dalam 1 pasal dan 1 ayat yaitu Pasal 109 ayat (2) yang bunyi lengkapnya :
“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntu umum, tersangka atau keluarganya”
Dari norma di atas jika kita kaji, maka alasan terbitnya SP3 itu ada tiga yaitu :
Tidak cukup bukti
Peristiwa tersebut bukan tindak pidana
Demi hukum
Tidak cukup bukti, artinya penyidik tidak memiliki 2 alat bukti yang syah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Hal ini tentu sedikit membingungkan karena ketika proses penyidikan berlangsung, dan ketika akan menetapkan seseorang sebagai tersangka, maka penyidik telah memiliki 2 alat bukti yang syah. Lalu jika alasan tidak cukup bukti yang dijadikan dasar, maka artinya ada alat bukti yang dianulir oleh penyidik sebagai alat bukti yang syah, sehingga dalam terbitnya SP3 tersebut dinyatakan bahwa alat bukti yang dijadikan dasar penetapan tersangka dinyatakan tidak syah/tida tepat/tidak akurat/bukan sebagai alat bukti sehingga diterbitkanlah SP3.
Dalam menganulir alat bukti yang dipergunakan dalam penetapan tersangka, tentu saja bisa ditafsirkan bahwa tindakan penyidik tidak hati-hati dalam menilai alat bukti yang dipergunakan dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Atau bisa juga ditafsirkan sebagai tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penyidik. Namun demikian SP3 dalam konteks tidak cukup bukti dapat juga dikatakan sebagai tindak korektif yang dilakukan penyidik atas penetapan tersangka pada diri seseorang. Tindakan korektif ini harusnya secepatnya dilakukan agar hak-hak tersangka tidak dirugikan. Jika tindakan korektif tidak segera dilakukan, sangat mungkin terjadi tersangka mengajukan permohonan praperadilan karena tidak cukupnya alat bukti dalam menetapkan tersangka.
Terkait dengan tidak cukupnya alat bukti, maka dapat merujuk pada putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 Juncto PERMA 4/2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan yang menyatakan alat bukti yang cukup adalah sekurang-kurangnya penyidik telah memiliki dua alat bukti yang syah menurut Pasal 184 KUHAP. Definisi saksi mengacu pada Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 yaitu “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”.
Terkait dengan alat bukti saksi, maka dalam tindak pidana umum dan tindak pidana khusus mengacu pada asas unus testis nullus testis yaitu 1 saksi bukanlah saksi.
Pada dasarnya, pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses oleh polisi jika ada pengaduan dari orang atau pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan.
Gerai Hukum Art & Rekan berpendapat bahwa, Pasal 75 KUHP berbunyi:
Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.
Pasal 75 KUHP ini hanya bisa berlaku untuk kejahatan–kejahatan yang sifat deliknya adalah delik aduan, sehingga bila pengaduan dicabut maka akan menghentikan proses hukum yang berjalan. Kalau tak memenuhi syarat Pasal 75 KUHP, maka pencabutan pengaduan itu tak bisa menghentikan perkara pidana.
Proses pelaksanaan pencabutan pengaduan dapat dilakukan pada tahap penyidikan, pemeriksaan berkas perkara (Pra Penuntutan) dan pemeriksaan di muka persidangan. Akibat hukum yang ditimbulkan apabila pengaduan itu dicabut ialah maka penuntutannya pun menjadi batal. Pencabutan pengaduan terhadap delik aduan menjadi syarat mutlak untuk tidak dilakukan penuntutan.
Mengenai biaya yang diperlukan untuk mencabut suatu pengaduan, sebenarnya tidak ada aturan yang menyatakan bahwa pencabutan pengaduan tersebut memerlukan biaya.
Tetapi, pada penerapannya di lapangan terkadang terjadi praktik-praktik yang tidak sejalan dengan hal tersebut. Terkadang ulah “oknum” polisi yang meminta “uang pelicin” agar suatu pengaduan bisa dicabut. Hal ini membuat kesan bahwa pencabutan pengaduan atau perkara memerlukan biaya, padahal tidak begitu aturannya.
Normalnya, sebagai pengadu dapat mengirimkan surat permohonan pencabutan perkara disertai dengan kesepakatan perdamaian antara para pihak, apabila memang semua syarat terpenuhi, maka seharusnya tidak ada “biaya-biaya pelicin” untuk hal tersebut.
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pembahasan oleh : Arthur Noija, S.H Gerai Hukum Art dan rekan Jakarta