Jakarta,Kabar1News.com – Gerai Hukum Art & Rekan Jakarta berpendapat bahwa, didalam konteks hubungan keperdataan. Dalam membuktikan suatu perkara perdata, yang dicari adalah kebenaran formil, yaitu kebenaran yang didasarkan (sebatas) pada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Oleh karena itu, umumnya suatu bukti tertulis (surat) atau dokumen memang sengaja dibuat oleh para pihak untuk kepentingan pembuktian nanti (jika ada sengketa).
Dalam pembuktian suatu perkara perdata, Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (‘KUH Perdata”) atau Pasal 164 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB/HIR) telah mengatur jenis alat-alat bukti dalam hukum acara perdata, yaitu:
1. Bukti Surat
2. Bukti Saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
Menjawab pertanyaan diatas mengenai fungsi saksi dalam fotocopy (fotokopi) maka Pasal 1888 KUH Perdata sudah memberikan pengaturan mengenai salinan/fotocopy dari sebuah surat/dokumen, yaitu :
“Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya”.
Dalam praktik, Mahkamah Agung juga telah memberikan penegasan atas bukti berupa fotocopy dari surat/dokumen, dengan kaidah hukum sebagai berikut:
“Surat bukti fotokopi yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti.” (Putusan MA No.: 3609 K/Pdt/1985)
Sesuai dengan pendapat dari Mahkamah Agung dalam Putusan MA No. 3609 K/Pdt/1985 tersebut, maka fotocopy dari sebuah surat/dokumen yang tidak pernah dapat ditunjukkan aslinya, tidak dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti surat menurut Hukum Acara Perdata (Vide: Pasal 1888 KUH Perdata).
Argumentasi mengenai hal tersebut juga telah ditegaskan oleh Mahkamah Agung dalam Putusannya No.: 112 K/Pdt/Pdt/1996, tanggal 17 September 1998, yang memiliki kaidah hukum sebagai berikut :
“Fotocopy surat tanpa disertai surat/dokumen aslinya dan tanpa dikuatkan oleh Keterangan saksi dan alat bukti lainnya, tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam Persidangan Pengadilan (Perdata).
Mengenai pertanyaan jumlah minimum saksi untuk membuktikan fotocopy , ada baiknya kita memperhatikan ketentuan Pasal 1905 KUH Perdata, yang berbunyi:
“Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya.”
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal tidak adanya bukti lain, selain saksi yang dapat diajukan oleh seseorang untuk menguatkan dalilnya, maka jumlah saksi yang harus diajukan orang tersebut adalah minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis).
Namun demikian, dalam praktik, ketentuan mengenai pembuktian dalam perkara perdata tersebut dapat berkembang dan bermanuver. Misalnya dalam hal keberadaan fotocopy ini ternyata diakui dan tidak disangkal oleh pihak lawan, tentunya hal ini dapat dikualifisir sebagai pengakuan di muka hakim, yang merupakan bukti yang sempurna (Vide: Pasal 176 HIR), atau apakah ada persangkaan (kesimpulan) yang ditarik oleh hakim (Vide: Pasal 173 HIR) dari bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak serta fakta-fakta yang terungkap di persidangan. (**)
Dasar hukum :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Het Herziene Indonesisch Reglement/Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui
Putusan:
1. Putusan Mahkamah Agung No.: 3609 K/Pdt/1985
2. Putusan Mahkamah Agung No.: 112 K/Pdt/Pdt/1996