Jakarta,Kabar1News.com – Lembaga Peduli Nusantara berpendapat bahwa, Menurut pasal 145 Het Herzienne Inlandsche Reglement (HIR), sebagai saksi tidak dapat didengar:
1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus;
2. Istri atau laki dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian;
3. Anak-anak yang tidak diketahui benar apa sudah cukup umurnya 15 tahun;
4. Orang gila, meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang.
Jadi, anak yang umurnya masih di bawah 15 tahun tidak dapat didengar sebagai saksi.
Dalam penjelasan HIR disebutkan bahwa anak-anak di bawah umur 15 tahun tersebut boleh juga didengar keterangannya dengan tidak disumpah, akan tetapi keterangan mereka itu tidak merupakan bukti kesaksian, melainkan hanya sebagai penerangan saja.
Hal ini diperkuat dalam pasal 171 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah.
Jadi, seorang anak yang umurnya di bawah 15 tahun bisa diperiksa untuk diambil keterangannya, akan tetapi keterangan tersebut diambil tidak dengan sumpah dan tidak diperlakukan sebagai alat bukti keterangan saksi di pengadilan.
Mengenai bagaimana pemeriksaan seorang anak yang menjadi korban, Kepala Kepolisian RI telah mengeluarkan Peraturan Kapolri No. 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus Dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana (Peraturan Kapolri). Menurut Peraturan Kapolri tersebut, pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban yang masih anak-anak di kepolisian (dalam artian masih berumur di bawah 18 tahun) dilakukan di Ruang Pelayanan Khusus.
Ruang Pelayanan Khusus (RPK) adalah ruangan yang aman dan nyaman diperuntukkan khusus bagi saksi dan/atau korban tindak pidana termasuk tersangka tindak pidana yang terdiri dari perempuan dan anak yang patut diperlakukan atau membutuhkan perlakuan secara khusus, dan perkaranya sedang ditangani di kantor polisi (pasal 1 angka 2 Peraturan Kapolri).
Pemeriksaan di RPK tersebut dilakukan dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal 17 ayat (1) Peraturan Kapolri tersebut, yaitu:
a. Petugas tidak memakai pakaian dinas yang dapat berpengaruh terhadap psikis saksi dan/atau korban yang akan diperiksa;
b. Menggunakan bahasa yang mudah dapat dimengerti oleh yang diperiksa, bila perlu dengan bantuan penerjemah bahasa yang dipahami oleh yang diperiksa;
c. Pertanyaan diajukan dengan ramah dan penuh rasa empati;
d. Dilarang memberikan pertanyaan yang dapat menyinggung perasaan atau hal-hal yang sangat sensitif bagi saksi dan/atau korban yang diperiksa;
e. Tidak memaksakan pengakuan, atau memaksakan keterangan dari yang diperiksa;
f. Tidak menyudutkan atau menyalahkan atau mencemooh atau melecehkan yang diperiksa;
g. Tidak memberikan pertanyaan yang dapat menimbulkan kekesalan/kemarahan yang diperiksa;
h. Tidak bertindak diskriminatif dalam memberikan pelayanan/pemeriksaan;
i. Selama melakukan pemeriksaan, petugas senantiasa menunjukkan sikap bersahabat, melindungi, dan mengayomi yang diperiksa;
j. Selama dalam pemeriksaan, petugas mendengarkan dengan saksama semua keluhan, penjelasan, argumentasi, aspirasi, dan harapan untuk kelengkapan hasil Laporan Polisi yang berguna bagi proses selanjutnya;
k. Selama dalam pemeriksaan, petugas senantiasa menaruh perhatian terhadap situasi dan kondisi fisik maupun kondisi kejiwaan yang diperiksa.
Dasar hukum:
1. HIR (Het Herziene Indonesisch Reglemen, Staatblad Tahun 1941 No. 44).
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus Dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana